Senin, Januari 03, 2005

Musibah, adzab, dan kedhaliman

Di
Balik Musibah Itu



Terlalu banyak media yang membahas musibah di negeri kita ini, termasuk isu musibah terkini kita, tsunami dan Aceh. Sepertinya tak perlu dibahas lagi tentang hal2 yang tentunya sudah sering mereka bahas [antre jenazah tuk dikuburkan, evakuasi yang semakin runyam karena anggota badan mayat terlepas saat diangkat,dll]. Aku baru tau kalau di sana ternyata ada familiku yang selamat, mbak Yati namanya. Ia familiku yang masuk Islam dari keluarga Katholik. Kabarnya, rumahnya jadi tempat penampungan pengungsi, di sana kesulitan bahan pangan. Sementara itu, saat latihan karate, ada berita duka tentang istri dan anak salah satu pelatih yang belum jelas nasibnya di sana. Terlepas dari itu semua, aku hanya ingin mengungkapkan beberapa hal yang terus berkecamuk dalam daun waruku. Begitu tertunduk qalbu ini tatkala kubuka sang Furqan surat Al Qashshash ayat 59 [atas saran/imbauan dari mas Masjidi: "...dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedhaliman". Analisisku terhenti saat membuka ayat ini, habis sudah dalih2 semu tentang ayat alam yang barusan menimpa tanah para ulama itu. Aku merasa lebih aman tatkala kita bersu'udhan thd diri-sendiri bahwa ini adalah adzab atau setidak-tidaknya peringatan, kendati masih ada satu kemungkinan lainnya--ujian. Terlintas lagi dalam benakku akan ladang ganja yang tumbuh subur di daerah itu, tipu daya Abdullah Puteh yang namanya diberikan ortunya dengan menyebut asma-Nya, pembantaian misterius oleh pihak militer yang turut diamuk oleh sang tirta yang berlari kencang, dan sejumlah kedhaliman lainnya.



Lagi2 terpekur tak berdaya saat seorang sahabat bercerita tentang kawannya--akhwat di Jogja--yang sampai saat itu blm tau nasib ortunya sementara saldonya tipis, kejadiannya kan pas tanggal tua. Saat ditanya ttg ujian kampus, ia menjawab tak sempat memikirkannya, sampai2 dibuatlah shift time temen2 tuk menenangkannya. Betapa terbukanya mata hati ini ketika melihat diri dan menemukannya tidak berada dalam lingkaran solusi, aku blm bisa berpartisipasi, aku belum mandiri. Terasa basi saat hati ini menyadari akan ketidakberdayaan diri karena jauh2 hari tak bersiap diri tuk antisipasi masalah itu sejak dini. Bisa jadi aksi penggalangan dana terus digeluti, jaga posko bertukar hari, atau jadi sukarelawan bila bunda merestui, namun masalah yang satu tadi... Yaa Rabb, seandainya saat ini hamba sudah memenuhi syarat-syarat tadi, insya' 4JJI tiada mau pikir panjang lagi. Selama ini, ketika ummat membutuhkan, Kau mudahkan hamba tuk menyegerakan diri menyambutnya. Namun, saat ini, tatkala...ah...ini memang kelemahanku dalam ujud nyata sebagai seorang manusia. Hanya saja, hamba merasa hina karena belum dapat berbuat lebih banyak.



Kenyataan di atas memicu naluri kesiapsiagaanku tuk segera membangun diri menghadapi masa2 nanti yang boleh jadi tak terduga seperti saat ini. Aku harus segera mandiri sehingga dapat berkontribusi lebih luas lagi. Dan...Rabb...lagi2 Kau mudahkan hamba meniti jalan ini. Mudahkan hamba untuk senantiasa mensyukuri karunia yang telah Kau anugerahkan kepadaku wahai Dzat Yang paling kucintai. Kelegaan ini tercermin dari wajah berseri tatkala ibunda memberiku izin cuti studi dan mengiyakan setulus hati kala kuminta dukungan spiritnya. Rabb, berikanlah ridla-Mu via ridlanya. Kebahagiaan ini juga terpancar dengan muka cerah beliau kala kuceritakan amanah baru sebagai takmir di sebuah masjid dan harus tinggal di sana yang beliau sambut dengan sebuah kepahaman yang mendalam. Rabbi...kulihat Engkau berlari mendekati.



Namun, coba lihat pula, kedhaliman apa yang telah kulalui?





  • Jarang mudik. Padahal jarak Jogja-Magelang sangat dekat. Rutinitas tuk ndengerin ibu curhat tereduksi. Sampai2 kalo pas kekurangan logistik justru ibu yang nganter kemari. Mangkannya kagak heran lagi kalo ibu pernah bilang 'kamu itu kalo bekalnya belum habis belum pulang tho'. Beliau pun gak setuju dengan penggunaan ATM yang bisa memperparah frekuensi ke-mudik-an diriku. Ponakan perdanaku udah bisa apa yach [namanya Uka], jadi ketinggalan informasi kampung halaman, kabar famili, tetangga, sahabat, dan cs-cs nya.


  • TPA di kos lama mati suri. Belum silaturahmi juga ke mbak Reni [jantungnya TPA] yang masih tersisa pasca masa2 kejayaan dulu, kalo mo' single fighter ya berat emang. Di masjid yang kudiami saat ini ternyata sama juga. Dari penuturan mbak Tanti [kalo yang ini tokoh TPA di tempat tinggal baruku], tiap kali ganti takmir [masa2 transisi] meninggalkan kenyataan pahit coz lemahnya kaderisasi santri [yang nikahlah, lulus kuliahlah, kerja, pindah kos,dll]. Beliau itu dari SPA [silaturahmi pengajian anak] Jogja. Sekarang masa2 membangkitkan lagi. Dalam rapat koordinasi, beliau usulkan agar bergabung aja dengan keluarga Qira'ati. Bila berhasil, aku ingin mengadopsi sistemnya agar bisa meng-handle 2-2 nya. Hmmm...gak bakalan rela sich melihat mushalla merasa hampa tiap sore karena karpetnya tidak diinjak lagi oleh santri2 yang ngaji atau sekedar bermain tuk jalin silaturahmi. Apalagi ketika melihat saksi visual berikut ini tentang profil santri yang tetap tegar di jalan TPA...eiitt jangan salah, mereka itu bukan santri tiban yang nongolnya Ramadlan aja lho. Cuman...pasca lebaran kok masih pada susah dikumpulin lagi yach.








    Dari kiri ke kanan =>depan: Mega (paling kecil), adiknya Derta [belakangnya, pake kerudung hijau], masih bleum mau ngaji, sementara nemenin kakaknya aja (awal yang baguslah tuk mbangun bi'ah). Nah kalo si Derta sendiri mah semangat ngajinya bukan main kendati agak lelet nyanthelnya..perlu ketelatenan memang. Ke kanan lagi ada si Ima(kerudung coklat), pertama kali aku liat foto ini kaget bukan main dengan gaya peacenya coz anaknya pemalu abis. Kanannya lagi ada si Dina yang lincah (kerudung pink). Sebelahnya lagi ada si Iga (kerudung kuning) yang gak kenal lelah ngajak temen2 laennya tuk ikutan ngaji. Kanan lagi...heehhe...siapa lagi kalo bukan si pendekar ...huzz jangan sok nge-klaim ya! Btw, yang dipanggul itu si Alfi, semangat ngajinya oke punya. Pernah satu saat diajak temennya tuk maen coz blm gilirannya iqra' serta-merta ia jawab dengan lantang 'aku ke sini mo ngaji, bukan mo maen, kalo aku lagi pengin maen ya maen', paten bener bocah yang satu ini, sempat takut jatuh saat aku panggul, makanya kusuruh pegangan kepala biar imbang. Yang pake peci itu Agus Sudirja, santri teladan, paling rajin dateng/jarang absen, penurut, makanya aku gak segan2 ngasih nilai 10 tuk prestasinya ngerjain PR maupun tugas. Sebelahnya ada si Hanif (kerudung hijau), ketutup temen2nya nih, dia yang mbawa tustel tuk njepret kami, anaknya cerdas, makacih tuk fotonya ya, Nif! Nah, kalo santri putri tertinggi itu namanya Pipin, kalo ketemu di mana pun, bawaannya mo' salaman mulu [Derta juga suka gitu], cium tangan lagi...waduh...siapa nih yang ngajarin [kalo gak salah sih ustadzahnya], udah dijelasin masih aja ngotot. Semangat ngajinya gak kalah ama laennya.


  • Studi moloooorrr. Kendati ibu bisa memahami aktifitasku, aku tetap menganggap ini sebagai suatu kedhaliman. Wajarnya, ibu akan kecewa dengan hal ini, kendati tidak demikian. Harapan beliau agar ada pengganti profesi ayah dan ibu sebagai pengajar dan pendidik [guru] kandas kala hasil SPMB ku di jurusan Pendidikan Fisika tidak aku ambil dengan dalih bahwa sebentar lagi ibu pensiun sehingga aku pilih program diploma. Padahal, bakat itu sudah melekat kuat pada putra bungsunya sejak kecil.



Sepertinya potensi2 kedhaliman itu senantiasa merongrong ketenteraman diri maupun jama'ah. Masih ingat tentang kisah seseorang yang hendak melubangi kapal untuk mendapatkan air? Bila tak ada yang mencegahnya maka imbasnya akan dirasakan oleh semua. Saat mencari Q.S. Al Qashshash itu, aku juga mendapatkan do'a nabi Musa a.s. berkaitan dengan kedhaliman 'Allaahumma innii dhalamtu linafsii faghfirlii'...Ya Allah, sesungguhnya aku telah berbuat dhalim terhadap diri-sendiri, maka ampunilah aku...aamiin.